Istri Kader PKS
Awalnya saya sedang asyik berkeliling di beberapa situs untuk
mencari berita perkembangan politik dunia internasional, khususnya kabar
dari negara-negara yg sedang dilanda masalah serius; Israel, Amerika,
Rusia, China, Mesir, Turki, Iran, Suriah, Lebanon, dll. Untuk
mendapatkan pemberitaan yg seimbang & melihat dari berbagai sudut
pandang, saya terbiasa melakukan aksi selancar ini tidak hanya di satu
sumber, melainkan di berbagai media online (kompas, tempo, yahoo,
okezone, republika,antara, dll), bahkansitus-situs
pribadi/organisasi yang membahas perkembangan situasi politik
internasional pun tak jarang saya kunjungi jg; misalnya cahyono-adi.blogspot.com (pro Iran, Suriah, Rusia, Hezbollah, dan Pemerintah Suriah Bashar Al-Assad), zilzaal.blogspot.com (pro Pemerintah Mesir, Turki,dan Pemberontak Suriah),termasukhttp://www.pkspiyungan.orgyang beberapa kali turut mengupas situasi terkini Timur Tengah.
Nah, ketika saya sedang khusyuk membaca berita
mengenai situasi politik terkini di Turki dimana sedang terjadi gejolak
demonstrasi menentang pemerintahan Erdogan di situs pkspiyungan.org ini
(berikut linknya http://www.pkspiyungan.org/2013/06/istanbul-perang-non-fisik-zeytinburnu-1.html)
, tanpa sengaja saya melihat tulisan yg jd Headline disana. Judulnya
pun tidak main-main (*setidaknya menurut saya) : Sang Khadijah Jama’ah
Dakwah ini...
Mengingat PKS yg sedang diguncang
kasus suap impor daging sapi, dalam benak saya waktu itu terlintas
pikiran, “waduh, istri kader pks yg mana nih yg berani-beraninya mereka
‘nobatkan’ sebagai Khadijah abad 21 versi PKS? Seperti siapa sih
orangnya?”. segera saya klik tulisan tersebut, dan setelah selesai
membacanya saya sempat terdiam beberapa saat , terharu, bahkan hampir
menangis. Untung disebelah ada ayuk (kakak perempuan) saya, jadi batal
deh nangisnya. Gengsi braay, hehe.. Menurut saya tulisan ini sangat
menyentuh dan inspiratif.
Inilah tulisan tersebut :
Selamat Jalan Isteriku, Engkau Layak Atas Karunia Syahid itu...
17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis buletin dakwah, aku membaca nama pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj. Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua. Sudah naik haji dan namanya jadul sekali.
“Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini,”
tanyaku kepada Pak Marjani yang bertugas mengantar buletin. ”Ndak tahu,
nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk dikirim
via bis ke Kotabangun”.
Wah
wanita yang mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada
masyarakat di hulu sungai Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita
menikah, Buletin Ad Dakwah dari Yayasan Al Ishlah Samarinda diantar ke
rumah. Ternyata wanita mulia tersebut adalah engkau istriku, bukan
wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang aktif mengajar
di Taman Al Quran.
Istriku,
beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba
mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu
sebagai putri seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang
ingin memiliki istri sholehah. Kamu beralasan belum ingin menikah karena
mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan utamanya adalah kamu masih ragu
dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah Purwinahyu merekomendasikan
diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku. Hanya karena aku
aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli berapa
penghasilanku.
Istriku,
semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang
wanita bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu. Melihatmu seperti
melihat wanita Palestina yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan
Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama
kepadaku adalah, “ Berapa sekarang anakmu?”. Sering orang bertanya
kepadaku, “ Gimana caranya ngurus anak sebanyak itu?” Mudah, rahasianya
adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.
Kehangatanmu
membuat anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat kau lelah
sepulang dari mengisi halaqoh atau ta’lim mereka segera menyambutmu dan
melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka membuntuti
kemana kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu, pindah
ke ruang tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar,
berbondong-bondong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang selalu
memegang-megang bajumu dan kamu berkomentar,” Nih anak kayak prangko
aja, nempeeel terus.” Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.
Kadang
jika cintaku meluap aku berkata padamu, ”Bener nih kamu ndak nyantet
aku? Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu tersenyum dan
berkata, "cinta Umi ke Abi lebih besar dari cinta Abi ke Umi, Abi aja
yang ndak tahu.”
Rasulullah bersabda, "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad). Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di sisiku.
Kepribadianmu
yang mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak orang. Kamal
berkata, “Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, Mas Nashih,
Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. Guru-guru kenal
kami karena kami anak umi.” Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa
orang tua murid ke kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak
kita yang terlalu muda bisa diterima sekolah. Akhirnya SDN 006
Balikpapan mendapat tambahan kelas dan anak kita bisa bersekolah di
sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.
Aku
terpesona dengan caramu menjalin silaturahim dengan keluarga besarmu.
Ketika kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon
menanyakan kapan liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu
KH. Fachrudin, seringkali menelpon, "Kita mau ngadain acara ini, kamu ke
Samarinda kah?” Sya’rani, kakakmu yang sering bepergian ke Jawa, ketika
mendarat di Balikpapan pun sering berkata, "Baru dari Jawa, mau ikut
saya sekalian naik mobil ke Samarinda?” Keponakan-keponakanmu pun
sering bertanya, “Acil Robiah kapan ke Samarinda?” Jika kita liburan ke
Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan
salam. “Wah, Haji Robiah dari Balikpapan.”
Aku
kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering
kerinduanmu kepada keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang
harus kamu kerjakan. ”Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul.
Ada acara keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak
bisa ke Samarinda.” Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan
orang-orang yang berjuang menegakkan agama ini.
Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.
Kamu juga aktif mengisi kajian Siroh Shahabiyah
di Radio IDC FM. Ketika engkau ingin berhenti karena hamil dan
mengajukan ustadzah lain, mba Irna yang mengasuh acara menolak dan
mengatakan sebaiknya cuti saja dan sementara akan diputar ulang rekaman
yang terdahulu. Saya tahu mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.
Saat
Ustadz Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para
peserta menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau
mengenaliku dengan baik. Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci,
teman-teman yang kuanggap shahabatku, karakter-karakterku, dan
teman-teman Halaqohku. Diam-diam engkau memperhatikanku. Terimakasih
telah memahami diriku.
Pernah
kau mengatakan bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku mengatakan
bahwa kamu sudah naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau aku punya
uang aku akan mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu berkata,
“Aku akan kumpulkan uang daganganku agar bisa naik haji bersamamu.” Kamu
pernah bercerita bahwa saking nikmatnya berada di Kota Mekah, kamu
pernah berusaha tukar kloter dengan orang lain agar bisa bertahan lebih
lama di kota Mekah.
Istriku,
aku suka dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Muhadi
mengajakku mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku.
Padahal kau tahu bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja
untukmu. Bahkan kau berkata, "Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama
ini ke lembaga zakat ke Nurul Fikri.” Selama ini kau memang menyisihkan
uang transport dari mengisi majelis-majelis ta’lim untuk menunjang
dakwahmu.
Istriku,
aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil memelukku di saat
kita naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan kesetiaanmu. Aku
tersanjung dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku merindukan caramu
menegurku jika engkau melihatku lalai dalam urusan agama kita. Aku
merasa bahagia saat kau memujiku. Aku merasa hebat ketika engkau
bermanja kepadaku.
Aku
salut dengan kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada ta’lim yang
mendatangkan ustadz yang berkualitas kau berkata, “Harus duluan nih biar
dapat duduk di depan.” Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang
kau terhambat untuk berada di depan. Pernah kau begitu sedih karena
tidak dapat menghadiri ta’lim yang diisi DR. Samiun Jazuli. Terlintas di
dalam pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk melanjutkan kuliah S2
agar kau bahagia.
Kau
juga begitu bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) yang
diadakan oleh PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha mengerjakan
soal-soal tanpa berusaha menyontek. Tiba-tiba kau mendengar peserta
ujian yang lain di sebelahmu saling berbisik tentang jawaban soal yang
engkau tidak bisa mengerjakannya. Kamu pun menulis jawaban tersebut.
Sepulang ke rumah engkau begitu menyesal dan gelisah. Engkau merasa
berbuat curang karena mengerjakan soal dari mendengar percakapan orang
lain. “Gimana nih Mas, aku sudah nyontek?” tanyamu. Aku jawab sambil
bercanda, "Telpon dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat dari
hasil mendengar itu”. Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz Fahrur
agar jawaban atas soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering kulihat
darimu, begitu takut akan dosa-dosamu. Aku bangga padamu istriku.
Istriku,
hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat melihat engkau
sholat. Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku melihatmu
terburu-buru di dalam sholat. Aku menikmati melihat caramu menghadap
Tuhanmu. Selelah apapun dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari.
Engkau juga tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya
saat-saat melihatmu tertidur dengan Quran masih berada di tanganmu.
Sering
aku berangan-angan aku akan membahagiakanmu kelak saat anak-anak sudah
besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku akan
membelikanmu perhiasan walaupun sekedarnya. Karaktermu yang tidak pernah
meminta memang membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan motor
pun tidak pernah kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah motor yang
memang telah kau bawa dan kau miliki sejak masih gadis.
Aku
yakin bahwa kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan
dari wajahmu. Banyak yang mengatakan kepadaku, ”Beliau adalah tempat
saya menyampaikan curhat.” Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi
pengajian, ketika ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, “Kasihan ada
yang pingin curhat, jadi dengerin dia dulu. Semoga Allah segera kasih
dia jalan keluar.” Saya yakin mereka curhat kepadamu karena mereka
merasakan kebaikanmu.
Kamu
sering memujiku, “Suami yang pintar”. Kulihat, kamulah yang lebih
pintar mengaplikasikan teori ke dalam praktek dunia nyata. Sebenarnya
aku banyak belajar darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain.
Kamu sering memberikan sesuatu kepada tetangga-tetangga kita. Terkadang
aku malu karena yang kau berikan adalah hal-hal yang sederhana. “Malu
ah ngasih ke tetangga segitu. Nggak level buat mereka.” Ternyata sikap
perhatianmu kepada tetangga inilah yang membuat mereka mencintaimu.
Kamu
mengatakan kepada pembantu kita, “Kumpulkan teman-teman yang lain,
nanti saya yang membimbing bacaan Qurannya.” Dengan sabar kamu melatih
mereka membaca Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai
hadiah kepada mereka yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid
berikutnya. Pernah kau melihat salah seorang diantara mereka sedang
berlatih mandiri di rumahnya. Kau berkata, "Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri.” Sampai terucap dari mulut pembantu kita, “Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu lho.”
Terkadang
aku lupa untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau
menjawab,”Aku pakai uang daganganku”. Kau kadang membelikanku baju
sebagai hadiah ulang tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip
minimalis, terkadang jika ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku
mengatakan bahwa itu tidak perlu dibeli, kita da’i tidak usah terlalu
mengejar kesempurnaan. Seperti biasa kau pun mengalah dan berkata, "Ya
sudah pake uang aku aja.”
Ketika
engkau mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke delapan,
engkau mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu menderita. Ketika
dokter mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera keluar berlari
menuju PMI tanpa sempat mengambil alas kaki. Aku sangat takut
kehilangmu. Ketika diberitahu bahwa putra kita telah meninggal, aku
sudah tidak peduli lagi, “Tolong selamatkan istri saya dok.” Setelah
dioperasi kau sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa
putra kita telah meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan
yang sangat kau cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah
mendahuluimu.
Dokter
mengatakan bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini berakhir
dengan kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku berkata,
”Umi tidak usah ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi nyebut Allah
saja.” Aku berharap seandainya Allah memanggilmu, maka ucapan terakhirmu
adalah Allah. Walau tidak ada suara yang kudengar, kulihat mulutmu
menyebut nama Allah dua kali. Saat itu aku bernazar, aku pun bertawashul
dengan segala amalku agar Allah memberikan kesempatan agar engkau masih
bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita bercerita bahwa saat itu di
rumah mereka juga bernazar agar ibu mereka selamat.
Dengan
sisa harapan yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan
semangatmu, ”Cepat sembuh, anak-anak kita menunggumu di rumah.” Engkau
mengangguk-angguk. Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT
ingin memberimu karunia syahid. Kematianmu karena melahirkan putra kita
menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untukmu.
Sebagaimana Rasulullah mengatakan bahwa wanita yang mati karena
melahirkan termasuk orang-orang yang mati syahid.
Seorang
shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku, "Mba Robi itu kalau saya
perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. Kalau
berdoa, saat kalimat wa amitha 'ala syahaadati fii sabiilik
(matikanlah jiwa kami dalam syahid di jalan-Mu) sering saya lihat mba
Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang tidak boleh meremehkan
kekuatan doa.”
Pak
Emil tetangga kita berkata, ”Saya tidak pernah berinteraksi dengan
almarhumah. Hanya istri saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya
membuat saya merasa kehilangan sampai dua hari”. Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.
Ustadzah Sujarwati berkata, "Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita bahwa almarhumah
ustadzah Robiah yang merintis majelis ta’lim ini. Mereka semua kemudian
menangis karena teringat istri sampeyan.” Banyak yang terkejut dengan
kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk
kemudian menangis karena kehilanganmu.
Hari
kematianmu menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang datang
untuk memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan,
"Sahabat-sahabatnya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau
beli tiket untuk ke Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke
Samarinda mereka tidak jadi datang.” Beberapa ustadz datang dari
Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian, Ketua DPW PKS Kaltim pun
datang dari Samarinda dan menjadi imam yang mensholatimu. Aku pun
melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya, hadir di
masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut
untuk mensholatimu dan menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi
jalan masuk ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa
kemarin kepala kantor meninggal di komplek ini yang datang nggak
sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga kok banyak banget yang datang.
Sesudah
disholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda. Sampai
di masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC Koordinator
Qiroati untuk Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata bahwa kamu
sudah menganggap beliau, guru mu membaca Quran, seperti ayah sendiri.
Kecintaanmu kepada Quran membuat kamu mencintai beliau yang selalu
komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka bumi. Sering kamu
mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih. Segera aku
meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.
Kakakmu,
Ibu Mursyidah berkata, ”Kepergiannya persis seperti ayahnya, KH. Abdul
Wahab Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid.” Sebelum meninggal
beliau berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena washiat itu
beliau disholatkan di tiga masjid di tiga kota oleh murid-murid beliau.
Pertama disholatkan di Islamic Centre Samarinda, kemudian disambut oleh
Bupati Kutai Kartanegara (Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kab. Kukar) dan disholatkan di masjid agung Tenggarong, kemudian
disholatkan kembali oleh murid-murid beliau di masjid Kotabangun.
Dengan
lelehan airmata aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu ke
liang lahat. Seseorang berkata, "Antum duduk saja biar yang lain saja.”
Tidak, Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku sudah kehilangan
kesempatan membahagiakanmu di dunia. Aku sudah kehilangan kesempatan
membalas dengan baik pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini aku
melayanimu walaupun sekedar mengurus jasadmu.
Terimakasih
istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak merepotkanku. Ketika
aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan kematianmu dan
memohon doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan berkata, "Istri
sampeyan sering ke sini sendiri, menuntun sepeda motor untuk menambal
ban, atau kadang ganti ban motor”. Sekuat tenaga ku tahan airmataku. Aku
tahu sebenarnya itu adalah tugasku. Kubayangkan adakah wanita lain yang
mau menuntun motor ke bengkel untuk menambal ban karena tidak ingin
merepotkan suaminya.
Mungkin
kamu saat ini telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah, putra
kita. Mungkin kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat kamu
cintai. Walaupun aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa karunia
syahid yang Allah SWT berikan kepadamu adalah yang terbaik untukmu.
Istriku,
aku menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di hatiku. Aku
juga berharap agar orang yang membacanya mau meringankan lidahnya untuk
mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas jasamu kepadaku.
Sungguh betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu. Ingin rasanya aku
segera masuk ke surga agar dapat bertemu kembali denganmu. Selamat jalan Khadijahku....
Balikpapan, hari ke sembilan belas tanpamu di sisiku
Yang bersyukur mendapatkanmu
Suamimu,Abu Muhammad
----------------
Rekan-rekan sekalian, dari dulu saya berkeyakinan, bahwa salah satu
karakter utama orang cerdas itu, adalah dia yang paling pandai &
paling banyak mengambil hikmah/pelajaran atas tiap peristiwa yang
terjadi, dari pengalaman pribadi maupun orang lain, tanpa melihat apa
dan siapa sumber hikmah tersebut..
Lalu, terlepas dari perbedaan pandangan politik kita, mari sejenak kita meringankan lidah untuk mendoakan Almarhumah, “Allaahummaghfir lahaa.. warhamhaa..wa’aafihaa wa’fu ‘anhaa.. Allaahumma Laa Tahrimnaa Ajrahaa ... wa laa taftinnaa ba’dahaa..waghfirlanaa wa lahaa...”
Terakhir,
tentunya kita (laki2) semua berharap mudah-mudahan istri kita nanti
(*bagi yg belum menikah) dan atau istri kita (*bagi yang sudah menikah)
adalah wanita yg meneladani Khadijah r.a seutuhnya, wanita sholehah
Qurrota a’yun bagi suaminya.. Aamiin. Semoga kita sebagai imam juga
mampu konsisten mendidik istri kita untuk bersama-sama kita melakukan
evaluasi dan perbaikan diri. Dan bagi para wanita yg membaca tulisan
ini, mudah-mudahan Allah menjadikan kalian “Khadijah-Khadijah”
berikutnya.. Allaahumma aamiin.. []
Salam Persaudaraan^
Ibnu Sofyan
Sumber : Kompasiana
0 komentar:
Post a Comment