Thursday, November 5, 2015

Hijrah (Berjihad): Perintah, Latah, Jatah, Atau Ingin Gagah?



Oleh: Assad el-Ghorieb

Dari Umar ra berkata, Rasulullah bersabda, “Bahwa setiap amal tergantung dengan niat dan bagi setiap orang (mendapat balasan) menurut apa yang dia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ingin didapatnya atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya untuk apa yang diinginkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Ada cerita menarik dalam sebuah novel. Seorang mahasiswa asal Indonesia kuliah di Jerman. Saat berkunjung ke Islamic Center, dia mendengar pengumuman yang berisi kondisi umat Islam yang dizalimi oleh orang –orang Serbia yang jahat dan bengis.

Mendengar pengumuman itu, hatinya tergerak untuk membantu kaum muslimin di Bosnia. Dia mendatangi Imam masjid di Islamic Center yang berasal dari Mesir dan mengutarakan niatnya tersebut.

Syaikh itu bertanya, “Apa pekerjaan mu wahai anak muda?”, “Aku seorang Mahasiswa”, sahutnya.

“Kenapa tidak menyelesaikan kuliah mu dulu?”, “Saya merasa risih dengan kehidupan kufur di lingkungan kampus”, katanya. Syaikh menasehatinya, “tidakkah engkau bisa bersabar?”, “Aku sudah mencobanya, tapi tidak bisa”. “Pulanglah nak, perbaiki niat mu dan bersabarlah”. Jawab Syaikh, kemudian meninggalkannya seorang diri dalam keadaan bengong.

Mahasiswa tadi pulang ke apartemennya dan merenungi kalimat terakhir Syaikh  berulang-ulang. “Pulanglah nak, perbaiki niat mu dan bersabarlah”. Dan itulah pangkalnya dia meluruskan niatnya. Apakah niatnya pergi ke Bosnia Lillahi Ta’ala atau sekedar menghindari suasana kehidupan yang tidak kondusif. Dia pun mengadu pada robb-Nya.

Hari-hari berikutnya dia kembali kuliah dan bersabar dengan keadaan yang ada. Dengan kesabarannya itu, akhirnya banyak juga yang bertanya tentang Islam kepada dirinya. Bahkan dia berhasil mengislamkan seorang temannya yang terkenal nakal dan hedonis.

Setahun berlalu, mahasiswa itu masih melakukan aktivitas perkuliahan. Sementara keadaan Bosnia tidak berubah. Setahun pula dia menunggu hatinya untuk mantap pergi ke Bosnia membantu saudara-saudaranya.

Di bulan September mahasiswa itu menjumpai Syaikh kembali. “Bukankah engkau anak muda yang dulu itu?”.

“Benar ya Syaikh, dan ijinkan saya membantu saudara saya di Bosnia.”

“Apa Motivasimu?”.

“Saya melihat tidak ada perkembangan yang berarti di Bosnia. Muslim di sana semakin tertindas, bantuan internasional seperti setengah hati, dan dunia Islam cuma diam dan menonton melihat saudaranya dizalimi.”

Syaikh yang berasal dari Mesir itu tersenyum. “Baiklah anak muda. Kalau itu keinginan mu, bersiaplah.”

“Allahu Akbar,” mahasiswa itu langsung bersujud syukur, serasa mendapat tiket ke surga.

Awal September 1992, aa berangkat ke Bosnia. Dia bergabung dengan mujahidin yang bertugas bidang medis. Tugasnya ringan. Hanya mengemudikan mobil membawa pangan dan obat-obatan, dan tenaga medis yang diperlukan.

17 September 1992, saat hendak memakamkan jasad syuhada. Mobilnya dihamtam meriam. Mahasiswa itu terpental ke udara, kepala dan dadanya hancur. Seluruh penumpang mobil itu juga gugur syahid (Insyallah), kecuali Dokter Abdullah, itu pun dalam keadaan koma.

Syaikh Mesir yang memberangkatkannya menangis mendengar kabar syahidnya mahasiswa itu, Ia menerima kiriman baju mahasiswa tersebut yang berlumuran darah. Syaikh  mencium baju itu, bukan bau darah yang amis tapi wangi kesturi, Allahu Akbar!.

Ringkasan cerita di atas bisa kita lihat selengkapnya dalam novel “Cermin Hati Ikhlas dan Sabar (True Stories)”, karya Enno El-Khairity.

Begitulah kita sering mendengar tentang orang-orang yang mendapat pahala mati syahid. Semuanya berawal dari ketulusan niat. Nasehat serupa pula yang sering kita dengar ketika ada yang ingin hijrah berangkat bejihad dan bahkan setelah tiba di medan jihad, yaitu “jagalah niat”.

Jika kejujuran seseorang menolak niat berangkat jihad membantu saudara se-Iman ditumpangi oleh perasaan ingin lari dari kehidupan yang tidak Islami, lalu bagaimana dengan niat kita berangkat jihad, atau bergabung dengan suatu jama’ah jihad ditumpangi dengan perasaan latah karena teman sejawat telah berangkat berjihad? Atau karena kelompok yang kita datangi menjamin kehidupan materi kita?.

Apa kata hati kita, jika berjihad ditunggangi perasaan ingin mendapatkan pengakuan bahwa kita adalah mujahid, pahlawan, pemberani dan gagah? bagaimana dengan perkataan, jika kita bergabung kesana mendapat ini dan itu, tapi kita bergabung kesini akan dijatah segini dan segitu?. Bersihkah niat kita jika motivasi jihad kita dilumuri perasaan dan persoalan seperti konflik dengan anggota jama’ah, ataupun dengan jama’ah tetangga, atau juga persoalan-persoalan dalam keluarga dan cekikan ekonomi?.

Seseorang mendatangi ku, dan mengatakan keinginannya ingin berangkat ke medan jihad. Kemudian ia katakan niatnya ingin menjadi seorang pelatih di sana. Maka aku katakan, “aku menjadi tukang pencuci piring pun mau”.

Hasrat yang menjadi ‘penumpang gelap’ dalam niat jihad ini memang terkadang terlihat sepele. Tapi ketika tiba di medan jihad ia bisa menjadi ujian yang membesar bak tumor ganas atau kanker dalam tubuh. Hasrat-hasrat ‘liar’ yang kita sepelekan inilah biasanya dijadikan syaitan sebagai ‘detonator’ perusak niat dan kesabaran kita dalam menghadapi segala ujian. Ditambah lagi di medan jihad segalanya bisa saja terjadi dan tak terduga. Kehancuran dan kejahatan bisa selalu menghantui. Hari ini bisa saja makanan enak yang datang, besok bisa saja mortir yang mendarat disekitar kita. Pagi dalam rangkulan kawan, bisa saja sore dalam tawanan lawan.

Dulu ada seseorang yang mencela jama’ahnya karena dilihatnya tidak mengurus jihad. Sementara jama’ah lain sudah ikut perang. Kemudian ketika diadakan latihan untuk persiapan jihad (tadrib) dia pun berkata, “kenapa kita lari – lari saja? Orang sudah perang”. Kemudian ketika dirinya masuk dalam kelompok yang diberangkatkan kewilayah perang, tidak berapa lama dia pun ingin pulang.

Lembaran-lembaran waktu banyak sekali menyimpan cerita-cerita yang menarik untuk diambil pelajaran soal niat dalam jihad ini. Dan aku ceritakan sebagiannya dengan maksud kita betul-betul menempa dan menjaga niat kita agar bersih dalam jihad yang tidak mudah ini. Terkhusus buat para aktifis yang ingin hijrah ke bumi jihad. Di samping kita mempersiapkan fisik dan materi, yang lebih utama bersihkanlah niat. Jangan sampai kita tidak mendapatkan pahala jihad, sementara kita sudah bersusah payah.

Perteguhlah niat jihad yang ingin kita lakukan dengan membersihkannya selalu. Ketulusan niat dan kejujuran akan hal itu akan membuat semua ujian dan kesusahan yang akan dihadapi menjadi ringan. Setiap musibah pun akan bernilai ibadah. Hal yang berat untuk ditinggalkan akan menjadi ringan.

Tidak semua orang yang mati di medan jihad itu mendapat kesyahidan, bahkan di zaman dan di bawah kepemimpinan Rasulullah sekalipun. Padahal, gelar itulah yang diinginkan setiap mukmin. Hilangnya gelar syuhada dari seseorang itu dikarenakan rusaknya niat.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah yang mati syahid, maka di datangkanlah ia dan diperlihatkan nikmat-nikmat Nya maka iapun mengenalnya. Lalu Allah berfirman, “Apa yang kamu perbuat dengan nikmat itu?” Ia berkata, “Aku berperang di jalan-Mu sehingga mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu dusta ! kamu berperang agar disebut pemberani maka sungguh telah disebut pemberani!! Lalu ia diperintahkan dan diseret di atas mukanya hingga dilempar ke neraka.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

WaAllahu’alam


0 komentar:

Post a Comment

Murottal Online

Listen to Quran

Daftar Isi